MUNTOK bukan kota kecil biasa. Kota di sisi paling
barat Pulau Bangka ini punya sejarah panjang yang pernah mengantar
namanya dikenal di seantero mancanegara. Perjalanan ke Muntok adalah
menapak tilas kemegahan masa lalu.
Muntok bisa dicapai dalam tiga jam perjalanan darat dari Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Perjalanan menempuh jarak sekitar 135 kilometer antara Pangkal Pinang dan Muntok itu menyuguhkan pemandangan khas Pulau Bangka. Jalan mulus selebar 6 meter, sesekali berkelok, tak banyak menanjak. Di tepi jalan, berjajar kebun kelapa sawit, karet, dan lada, diselingi hutan atau padang bersemak bekas tebangan pepohonan.
Pemandangan kebun itu kerap berganti deretan rumah—sebagian besar tembok—berhalaman luas. Keunikan Bangka adalah ”kolong”, semacam danau bekas galian timah, yang masih terlihat di tepi jalan menuju Muntok. Di kolong yang tak berair jernih itu, ada orang mandi juga mencuci pakaian atau sepeda motor.
Matahari masih bersinar terik ketika kami tiba di Muntok. Pusat
keramaian di area Pasar Lama bisa jadi tujuan pertama. Di situ, pasar,
masjid, dan kelenteng berdampingan dalam harmoni. Ketua Komunitas Kota
Pusaka Muntok Chairul Amri Rani mencatat, Masjid Jami’ dibangun pada
1770 dan direnovasi pada 1883. Sementara Kelenteng Kong Fuk Miau di
sebelahnya pun sudah berumur lebih dari 200 tahun. Salah satu sudut Muntok.
Dua bangunan tua yang berdampingan itu membuktikan sejarah panjang akulturasi pribumi Melayu, etnis Tiongkok, dan Arab yang sejak mula melatari terbentuknya Kota Muntok. Sejarah Muntok diawali ketika Ratoe Mahmoed Badaroeddin, putra Sultan Palembang, berlindung di Johor karena terlibat sengketa takhta Kesultanan Palembang pada 1714.
Riwajat Poelau Bangka Berhoeboeng dengen Palembang karya Raden Achmad dan Abang Abdul Djalal pada 1925 dan 1939 menyebutkan Mahmoed Badaroeddin menikahi Zamnah, putri bangsawan Melayu-Tiongkok bernama Entji’ Wan Abdul Djabar dari Pulau Siantan. Ketika Mahmoed Badaroeddin menguasai takhta Kesultanan Palembang pada 1724, Zamnah pun jadi permaisuri. Sultan kemudian membangun negeri baru di Muntok, Pulau Bangka, dan menempatkan keluarga besar istrinya dari Siantan di kota baru itu.
Muntok berikutnya berkembang pesat sebagai kota pelabuhan. Dua komoditas
penting, yakni timah dan lada, diperdagangkan dari pelabuhan Muntok
hingga ke mancanegara. Muntok juga menjadi ibu kota Karesidenan
Bangka-Belitung hingga 1913 ketika ibu kota kemudian dipindahkan ke
Pangkal Pinang. Gedung kantor pusat PT Timah di Muntok, Bangka Barat, Bangka Belitung, yang sekarang dijadikan Museum Timah.
Foto udara
Sejak November 2013, kota ini memiliki etalase yang bisa membawa pengunjung di kota itu sejenak kembali pada kemegahan masa lalu Muntok. Etalase itu adalah Museum Timah Muntok. Bangunan yang disulap menjadi museum ini semula merupakan kantor Banka Tin Winning (BTW), perusahaan tambang timah milik pemerintah kolonial Belanda. Bukan sebatas eksotika arsitekturnya saja yang menawan. Menyusuri satu ruang pamer ke ruang pamer lain di penjuru gedung ini juga memberi pengalaman menarik.
Foto-foto udara jepretan tahun 1931, misalnya, terpampang di museum ini, menunjukkan gedung yang dibangun pada 1915 ini di masa lalu adalah bagian dari kluster Eropa nan megah di Kota Muntok. Sumber lain, The Hybrid Architecture of Colonial Tin Mining Town of Muntok karya Kemas Ridwan Kurniawan (Penerbit Universitas Indonesia, 2013) berdasarkan foto udara koleksi KITLV, Leiden, juga menggambarkan kluster ini begitu indah. Gedung BTW, gedung residen, dan Societeit Concordia dalam kluster itu berpagar Taman Wilhelmina dan Taman Juliana.
Kini, gedung residen itu menjadi rumah dinas Bupati Bangka Barat.
Taman-taman yang memagari kluster itu pun masih bisa ditemukan tapak
jejaknya di Kota Muntok hari ini meski tak lagi seindah dulu. Suvenir berbahan timah yang dijual di galeri kerajinan tangan di Muntok.
Museum ini juga menunjukkan betapa timah membuat nama Muntok dan Bangka mendunia sekaligus menjadikan pulau ini incaran imperialis Barat. Thomas Stamford Raffles (Inggris) sempat bersikukuh tak akan melepas Bangka ke tangan Belanda pasca Traktat London pada 1814. Pasca kemerdekaan RI, timah tetap menjadi tulang punggung pembangunan di Bangka.
Kini, masyarakat di Pulau Bangka, termasuk Muntok, tak bisa lagi menyandarkan penghidupan dari pertambangan timah. Meski begitu, gerai-gerai kerajinan timah yang mengolah biji timah jadi beragam cendera mata apik patut disinggahi.
Seribu kue
Bagian lain dari Museum Timah Muntok yang merebut perhatian adalah segmen yang memaparkan sejarah pengasingan Presiden RI Soekarno bersama Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan Mohammad Roem di Muntok pada 1949. Perjuangan para pemimpin bangsa ini tak mandek selama mereka terkekang dalam pengasingan. Soekarno bukan sekadar membahas urusan politik bersama sesama pemimpin, ia pun bergaul di tengah masyarakat Muntok. Ekspresi hangat sang Presiden di tengah keriuhan rakyat itu terekam baik di museum ini.
”Zaman pengasingan di Muntok itu, kue kegemaran Bung Karno adalah pelite. Ibu saya termasuk yang kerap memasakkan kue itu buat Bung Karno,” tutur Chairul Amri Rani. Kue pelite ini diolah dari sagu bersantan berwadah ”mangkuk” daun pisang.
Muntok memang kerap disebut ”kota seribu kue”. Tak akan afdal berkunjung
ke Muntok tanpa menikmati jajanan kue-kuenya. Di seberang Masjid Jami’
dan Kelenteng Kong Fuk Miau, sebuah gerai kue khas Muntok yang dipadati
aneka jajanan sungguh mengundang selera. Aneka kue yang dijajakan pedagang di Muntok. Muntok juga terkenal dengan sebutan ”kota seribu kue”.
Selain pelite, ada juga iyet-iyet, berbahan tepung ketan, gula merah, dan kelapa; tompe ambor, semacam kue dadar sagu; hingga kue brut yang dimasak dengan tepung beras. Menyeruput secangkir kopi hitam ditemani cita rasa manis dan gurih dari kue-kue itu menjadi cara paling pas untuk melewatkan sore di Muntok sebelum senja turun dan kemeriahan kota ini berangsur hilang dalam sepi. (Nur Hidayati & Aryo Wisanggeni)
Muntok bisa dicapai dalam tiga jam perjalanan darat dari Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Perjalanan menempuh jarak sekitar 135 kilometer antara Pangkal Pinang dan Muntok itu menyuguhkan pemandangan khas Pulau Bangka. Jalan mulus selebar 6 meter, sesekali berkelok, tak banyak menanjak. Di tepi jalan, berjajar kebun kelapa sawit, karet, dan lada, diselingi hutan atau padang bersemak bekas tebangan pepohonan.
Pemandangan kebun itu kerap berganti deretan rumah—sebagian besar tembok—berhalaman luas. Keunikan Bangka adalah ”kolong”, semacam danau bekas galian timah, yang masih terlihat di tepi jalan menuju Muntok. Di kolong yang tak berair jernih itu, ada orang mandi juga mencuci pakaian atau sepeda motor.
Dua bangunan tua yang berdampingan itu membuktikan sejarah panjang akulturasi pribumi Melayu, etnis Tiongkok, dan Arab yang sejak mula melatari terbentuknya Kota Muntok. Sejarah Muntok diawali ketika Ratoe Mahmoed Badaroeddin, putra Sultan Palembang, berlindung di Johor karena terlibat sengketa takhta Kesultanan Palembang pada 1714.
Riwajat Poelau Bangka Berhoeboeng dengen Palembang karya Raden Achmad dan Abang Abdul Djalal pada 1925 dan 1939 menyebutkan Mahmoed Badaroeddin menikahi Zamnah, putri bangsawan Melayu-Tiongkok bernama Entji’ Wan Abdul Djabar dari Pulau Siantan. Ketika Mahmoed Badaroeddin menguasai takhta Kesultanan Palembang pada 1724, Zamnah pun jadi permaisuri. Sultan kemudian membangun negeri baru di Muntok, Pulau Bangka, dan menempatkan keluarga besar istrinya dari Siantan di kota baru itu.
Foto udara
Sejak November 2013, kota ini memiliki etalase yang bisa membawa pengunjung di kota itu sejenak kembali pada kemegahan masa lalu Muntok. Etalase itu adalah Museum Timah Muntok. Bangunan yang disulap menjadi museum ini semula merupakan kantor Banka Tin Winning (BTW), perusahaan tambang timah milik pemerintah kolonial Belanda. Bukan sebatas eksotika arsitekturnya saja yang menawan. Menyusuri satu ruang pamer ke ruang pamer lain di penjuru gedung ini juga memberi pengalaman menarik.
Foto-foto udara jepretan tahun 1931, misalnya, terpampang di museum ini, menunjukkan gedung yang dibangun pada 1915 ini di masa lalu adalah bagian dari kluster Eropa nan megah di Kota Muntok. Sumber lain, The Hybrid Architecture of Colonial Tin Mining Town of Muntok karya Kemas Ridwan Kurniawan (Penerbit Universitas Indonesia, 2013) berdasarkan foto udara koleksi KITLV, Leiden, juga menggambarkan kluster ini begitu indah. Gedung BTW, gedung residen, dan Societeit Concordia dalam kluster itu berpagar Taman Wilhelmina dan Taman Juliana.
Museum ini juga menunjukkan betapa timah membuat nama Muntok dan Bangka mendunia sekaligus menjadikan pulau ini incaran imperialis Barat. Thomas Stamford Raffles (Inggris) sempat bersikukuh tak akan melepas Bangka ke tangan Belanda pasca Traktat London pada 1814. Pasca kemerdekaan RI, timah tetap menjadi tulang punggung pembangunan di Bangka.
Kini, masyarakat di Pulau Bangka, termasuk Muntok, tak bisa lagi menyandarkan penghidupan dari pertambangan timah. Meski begitu, gerai-gerai kerajinan timah yang mengolah biji timah jadi beragam cendera mata apik patut disinggahi.
Seribu kue
Bagian lain dari Museum Timah Muntok yang merebut perhatian adalah segmen yang memaparkan sejarah pengasingan Presiden RI Soekarno bersama Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan Mohammad Roem di Muntok pada 1949. Perjuangan para pemimpin bangsa ini tak mandek selama mereka terkekang dalam pengasingan. Soekarno bukan sekadar membahas urusan politik bersama sesama pemimpin, ia pun bergaul di tengah masyarakat Muntok. Ekspresi hangat sang Presiden di tengah keriuhan rakyat itu terekam baik di museum ini.
”Zaman pengasingan di Muntok itu, kue kegemaran Bung Karno adalah pelite. Ibu saya termasuk yang kerap memasakkan kue itu buat Bung Karno,” tutur Chairul Amri Rani. Kue pelite ini diolah dari sagu bersantan berwadah ”mangkuk” daun pisang.
Selain pelite, ada juga iyet-iyet, berbahan tepung ketan, gula merah, dan kelapa; tompe ambor, semacam kue dadar sagu; hingga kue brut yang dimasak dengan tepung beras. Menyeruput secangkir kopi hitam ditemani cita rasa manis dan gurih dari kue-kue itu menjadi cara paling pas untuk melewatkan sore di Muntok sebelum senja turun dan kemeriahan kota ini berangsur hilang dalam sepi. (Nur Hidayati & Aryo Wisanggeni)
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar